Ya Ibad ~ Pada hari raya 'idul adha, ibadah Qurban dipersiapkan serapih-rapihnya. Bahkan jauh sebelum tiba waktunya, para
jamaah Ya Ibad telah sepakat untuk mensukseskan
Ibadah Qurban ini tiap tahunnya. Setiap jamaah berlomba-lomba untuk ber-qurban. Persiapan finansial dilakukan dengan cara "Tabungan Qurban". Tradisi ini berjalan terus hingga sekarang. Yang tidak mampu secara finansial, diperbolehkan untuk "
latihan qurban", yaitu ber-qurban dengan dana se-adanya meskipun tidak cukup untuk membeli se-ekor kambing.
Tetapi patut disayangkan, tradisi mulia tersebut tidak (belum) dibarengi dengan
pemahaman tauhid yang benar, tidak (belum) dibarengi dengan
pengkajian makna dan hakikat Qurban dalam paradigma tauhid. Selama ini, yang disampaikan kepada
jamaah Ya Ibad hanyalah
Fadhillah-fadhillah (Keutamaan-keutamaan) Ibdadat Qurban saja. Karenanya,
Guru Besar Ya Ibad memutuskan untuk sedikit memberikan
Pemahaman Tauhid Tentang Makna dan Hakikat Ibadat Qurban.
Bismillahirrahmanirrahim.
Seperti yg sudah sampeyan ketahui, Idul Adha itu berhubungan erat dengan masalah Qurban dalam sejarah Nabi Ibrohim alaihissalam. Pada hakikatnya Idul Adha mengajak manusia untuk mengikuti
Millah Ibrohim sebagaimana dalam Firman-Nya:
"Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): "Ikutilah Millah Ibrohim, seorang yang hanif…" (Qs. An-Nahl 123).
Millah Ibrohim biasanya diterjemahkan menjadi
Agama Ibrohim. Ini kurang tepat. Pengertian yang sebenarnya,
Millah Ibrohim adalah
sikap Nabiyulloh Ibrohim dalam beragama (ber-Islam), yaitu: al-wala dan al-baro. Manusia diperintahkan untuk mengikuti dua prinsip ini.
WALA’ (LOYALITAS) NABI IBROHIM
wala' berarti kesetiaan, loyalitas.
Wala’nya Nabi Ibrahim kepada Alloh Swt adalah loyalitas yg mantap dan sempurna. Jadi kalau mantap, sudah tidak ada lagi pikiran dan perhitungan dunia. Selama ada kemampuan, harus diamalkan! Harus dilakukan dan dipraktekkan!
Contoh pertama, sampeyan ingat : ketika Nabi Ibrohim menikah untuk yang kedua kemudian mendapatkan karunia anak pertama, Ismail.
Pada waktu putranya telah lahir, Nabi Ibrohim diperintahkan oleh Alloh supaya ibunya (Hajar, red) bersama anaknya yang masih kecil ditempatkan di padang pasir. Menurut akal biasa, Ismail pasti mati karena di padang pasir itu tidak ada air dan tumbuh-tumbuhan. Mau dipikir akal bisa stress.
Tapi Nabi Ibrohim sami’na wa atho’na.
Saat putranya kehausan Hajar mencari air berlari kesana kemari, itu yang menjadi ibadah sa’i (sebuah rukun haji). Akhirnya dengan gerak kaki-nya Nabi Ismail timbul sumber air yang sekarang ini menjadi
sumur Zamzam dan wilayah tersebut menjadi tempat yang makmur, banyak orang yang berkunjung ke sana hingga menjadi
Masjidil Harom sekarang ini.
Demikianlah wala’nya Nabi Ibrohim. Meskipun menurut perhitungan, perintah Alloh tersebut bisa mengakibatkan kematian Istri dan Putranya. Tapi karena itu perintah Alloh, maka Nabiyulloh Ibrohim tunduk dan tho'at saja.
Sami’na wa atho’na (Kami dengar kemudian kami taati). Tidak boleh ada lagi pertimbangan macam-macam selama ada kemampuan.
Contoh kedua, setelah Ismail besar ketika dia sedang membantu ayahnya mendirikan Ka’bah.
Bayangkan, seorang ayah yang sudah tua baru punya anak laki-laki satu, anaknya menarik hati, mau menjadi seorang nabi, tapi turun perintah Alloh: “Sembelihlah anakmu..!”
Kalau dipikir pakai akal, beliau bisa stress yang kedua kali. Tapi Nabi Ibrohim bersikap pasrah terhadap perintah Alloh,
sami’na wa atho’na.
Kemudian beliau berkata pada anaknya, “Wahai anakku, aku mendapat perintah ini, diperintah untuk menyembelih kamu.”
Apa kata Ismail? “Amalkan wahai ayahku, aku akan bersabar.” Inilah wala’ yang harus ditiru umat Islam yang ada hubungannya dengan Idul Adha dan Ibadah Qurban.
Jadi kalau sudah mendengar perintah Alloh (hukum Alloh), maka sikapnya harus
sami’na wa atho’na. Jangan ada pertimbangan macam-macam, karena
hukum Alloh pastlah Hukum yg terbaik. Kalau mampu harus diamalkan, tapi kalau tidak mampu, amalkan semampu-mampunya saja.
BARO’ (ANTILOYALITAS) NABI IBROHIM
Baro' bisa dimaknai dengan berlepas diri / menolak / antiloyalitas.
Baro’nya Nabi Ibrahim termaktub jelas dalam surat Al-Mumtahanah ayat 4:
“
Sesungguhnya telah ada suri teladan yang baik bagimu pada Ibrohim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: "Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Alloh, kami ingkari (kekafiran) mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Alloh saja…”
Prinsipnya, segala yang bertentangan dengan Islam harus ditolak! Tidak ada pertimbangan yang macam-macam (politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan, stabilitas nasional, DLL). Pertimbangannya hanya satu : Saya Mampu atau tidak. Jika mampu maka laksanakanlah, jika belum diberi kemampuan maka tolaklah (baro' / menolak/ berlepas diri) dari setiap konsep yg bertentangan dengan Islam (Hukum Alloh) jangan malah sampeyan ikut-ikutan. Kemudian perjuangkanlah !
Prinsip Millah Ibrohim ini (Al-Wala' dan Al-Baro'), kalau mau dipraktekkan dalam kondisi indonesia sekarang ini adalah : Umat Islam harus memegang teguh hukum Islam (Wala'), dan menolak di luar itu (baro').
Ini konsekuensi mengikuti Millah Ibrohim. Negaranya orang Islam itu harus negara Islam, titik. Untuk itu tidak perlu berunding dengan orang kafir. Kalau mau mari bersama membangun negeri, kalau tidak mau silakan pergi! Ini pernah diamalkan umat Islam di India sehingga berpisah menjadi negara Pakistan.
Jadi jika umat Islam mau
memaknai hidupnya dengan Idul Adha dan Ibadah Qurban yang benar, harus mengikuti Millah Ibrahim yaitu berpegang-teguh dan mantap terhadap Syariat Islam tanpa perlu pertimbangan orang kafir. Negara harus berdasarkan Islam seratus persen (
kaaffah). Ini harga mati, tidak boleh tawar-menawar. Siapa yang ridho menerima negara Pancasila dengan segala macam perangkat hukum-nya, maka hukumnya musyrik bahkan bisa jadi murtad. Karena Pancasila dan segenap perangkat, serta sistem yg berjalan di negeri ini bukanlah
Hukum Alloh.
Orang Islam, tidak memerlukan hukum lain selain Hukum Alloh. Karena Ummat Islam sudah mempunyai Hukum Sendiri, Hukum yang Alloh Swt anugerahkan kepada mereka, yaitu Hukum Islam. KUHP bukan Hukum Islam.
Ummat Islam tidak boleh dipaksa untuk menjalankan sistem bathil. Karena ummat Islam sudah mempunyai sistem sendiri, yaitu Syariat Islam. Demokrasi Pancasila bukan Syariat Islam.
Akan terjadi krisis identitas jika Ummat Islam menjalankan Hukum yang mereka tidak yakini kebenarannya. Akan terjadi kemudhorotan yang besar di dunia dan akhirat apabila Ummat Islam dipaksa untuk menjalankan sistem yang bertentangan dengan Al Qur'an Dan Al Hadist.
Oleh sebab itu, Negaranya orang Islam harus Negara Islam,
Negara yang berlandaskan tauhid. Yaitu negara yang berjalan pada
syariat Islam.
Negara yang menerapkan Hukum Islam. Ini harga mati. Seperti sampeyan mengakui kalimat Laa ilaha illalloh (tiada tuhan selain Alloh) itu harga mati, tidak boleh diutak-atik. Sampeyan tidak boleh memaksa orang kafir untuk masuk Islam. Cukup sampeyan nasehati saja, tapi tidak boleh dipaksa. Dan sebaliknya sampeyan-pun tidak boleh dipaksa untuk menjalankan syariat dan Hukum yg sampeyan tidak yakini. Negara sampeyan itu harus Islam karena itu tuntutan tauhid, itu
bukan masalah politik, itu tuntutan agama sampeyan yang akan sampeyan pertanggung jawabkan kelak di akhirat.
Terakhir, pandai-pandailah sampeyan menempatkan Al wala dan Al Baro' sampeyan. Salah menempatkan, maka cacatlah tauhid sampeyan.
Wallohu a'lam.
Ya Alloh saksikanlah .. sudah kami sampaikan.