Ya Ibad ~ Sengaja
kami kutipkan
kata pengantar Pada Buku Penyesatan Opini ini untuk
jamaah Ya Ibad, mengingat:
1. Berbahayanya
virus sepilis (sekulerisme, pluralisme, dan liberalisme) buat akidah
Tauhid.
2.
Ya Ibad adalah target dan sasaran empuk dalam penyesatan.
3.
Ya Ibad adalah tempat yang baik dan subur untuk membiakkan
virus sepilis tersebut.
4. Ya Ibad sudah mulai ter-infeksi
virus sepilis.
=================
Membentengi Islam dari Berbagai Distorsi Pemikiran
Sejak masuknya sekularisme ke dunia Islam, baik melalui kolonialisme maupun interaksi budaya, dunia pemikiran Islam hampir tak pernah tenang dan tenteram. Polemik dan benturan pemikiran senantiasa mewarnai perjalanan peradaban Islam. Hampir setiap negeri muslim menyimpan sekurang-kurangnya dua kubu pemikiran: kubu Islam dan kubu sekuler.
Di negara-negara Arab, khususnya Mesir, perdebatan dalam bidang pemikiran terkadang sampai ke tingkat yang serius. Dahulu, ada Ali Abdur Raziq, penulis kitab al-Islam wa Ushul al-Hukum. Ia diajukan ke sidang Dewan Guru Besar Al-Azhar, gara-gara karyanya yang menafikan peran politik Rasulullah SAW itu. Ada yang dihukum murtad seperti Hasan Hanafi karena karya-karyanya (semisal Minal Aqidah Ilats Tsaurah) yang melecehkan akidah dan ajaran Islam. Ada pula yang di-fasakh dengan isterinya, seperti Nasr Abu Zeid. Bahkan, ada yang mati tertembak, seperti Faraq Foudah. Hal ini membuktikan betapa sengitnya pertarungan pemikiran di negeri sarang ulama itu.
Bila ditelusuri akar permasalahannya, kita dapat menemukan bahwa ada dua kekuatan besar yang bertarung di panggung pemikiran: Islam dan sekularisme. Islam adalah pemikiran asli pribumi, sedangkan sekularisme adalah pendatang dan sekaligus sebagai penjajah karena datang memang bersamaan dengan kolonial. Pemikiran yang melandasi pola berpikir kaum muslimin seharusnya pemikiran Islam yang mengacu kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Akan tetapi, ketika Barat menjajah negeri-negeri Islam, mereka turut menyebarkan paham sekularisme yang merupakan mainstream mereka. Barat mempersiapkan kader-kader yang akan meneruskan pola berpikir sekularisme jika mereka kelak meninggalkan negeri jajahannya. Nah, di sinilah asa muasal percokolan itu terjadi.
Segelintir orang pribumi ada yang terkagum-kagum terhadap paham sekularisme berikut konsep berpikirnya. Mereka ini ibarat duri dalam daging di tubuh ummat Islam. Selama duri masih bersemayam di dalam badan, manusia tidak akan merasa nyaman dan tenteram. Mereka senang melontarkan pendapat-pendapat yang berseberangan dengan Al-Qur’an, Sunnah dan meanstream ulama. Mereka menganggap itu sebagai sebuah kemajuan dan modernisasi seperti yang diajarkan oleh guru-guru mereka di Barat.
Di sisi lain, karena pemerintahan di negeri-negeri Islam didominasi oleh orang-orang cetakan Barat, bertemulah mereka dengan intelektual sekuler tadi dalam pemikiran. Peran pemerintah yang seharusnya menghadang pemikiran sekuler yang datang dari Barat dan yang tumbuh dari dalam oleh murid-murid mereka, justru berbalik memberi angin kepada sekularisme, bahkan turut mendukung secara aktif dengan memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada mereka untuk tampil dan menguasai media massa. Sebagai contoh, mari kita lihat masa kepemimpinan Abdurrahman Wahid. Selama masa kepemimpinannya, paham dan aliran-aliran sesat tumbuh dengan subur, seolah-olah mendapat angin dan dukungan dari sang pemimpin. Paham Ahmadiyah, Baha’i, Salamullah, Syi’ah, Markisme, sekularisme, dan isme-isme lainnya mendapat kebebasan di era kepemimpinan Gus Dur. Jangankan sekularisme, Tap MPR yang melarang berdirinya partai komunis pun ingin dicabutnya.
Ulama dan kaum intelektual muslim sebagai penjaga benteng pemikiran Islam, tidak boleh berlaku pasif dan menonton. Mereka berkewajiban memelihara kemurnian Islam dan elemen-elemennya dari berbagai penyimpangan dan penafsiran keliru, walaupun kadangkala harus bercokol secara frontal dengan para pendukung liberalisme ini. Semua ini merupakan kewjiban dan tanggung jawab ulama terhadap agamanya. Kalau tidak, Islam akanberubah menjadi bahan permainan yang ditafsirkan seenaknya oleh mereka, sebagaimana halnya agama-agama di luar Islam yang sudah berubah dari wahyu samawi yang sakral menjadi ajang permainan orang-orang “pintar” mereka.
Islam tidak boleh ditafsirkan semaunya dengan mengatasnamakan “modernisasi”, “kebebasan berpikir”, “apresiasi”, dan sejenisnya agar sesuai dengan target dan kepentingan pribadi mereka. Wahyu diturunkan untuk membentuk kehidupan manusia, bukan sebaliknya, wahyu dimodifikasi agar sesuai dengan selera dan kemauan manusia. Manusia harus mendengar apa kata wahyu, bukan wahyu harus mendengar apa maunya manusia.
Dalam pandangan sekuler, Islam harus mengikuti perkembangan manusia. Dalam arti, ajaran-ajaran yang mereka anggap tidak sesuai lagi dan tidak dapat diterapkan di era globalisasi ini, konsekuensinya harus dihilangkan kendati pun itu suatu kewajiban mutlak yang bersifat universal. Atau paling enteng, mereka melakukan takwil (reinterpretasi) terhadap ketentuan Islam agar lebih bisa diterima dan tidak dianggap berseberangan dengan kemauan masyarakat modern. Seperti hukum murtad (keluar dari agama Islam). Kata mereka, hukuman mati untuk orang yang murtad itu tadinya dalam kondisi perang, bukan dalam kondisi damai. Jika dalam kondisi perang, murtad itu dalam bahasa sekarang adalah “pembelotan”. Karenanya, wajar jika dihukum mati. Begitulah mereka (kaum sekularis) membuat takwil seenaknya terhadap ketentuan hukum Islam.
Ulama Vs Kaum Sekuler
Di Mesir, pertarungan pemikiran itu memang terlihat lebih semarak karena ulama di negeri itu betul-betul menampilkan dirinya sebagai pembela Islam, baik yang formal, seperti Al-Azhar, maupun yang individual. Sebagai lembaga yang cukup disegani, Al-Azhar telah lama berjuang menghadang arus sekularisme. Pemikiran yang dilontarkan oleh Thoha Husein mendapat tanggapan serius dari lembaga yang telah berusia seribu tahun ini, baik dalam bentuk bantahan resmi maupun tuntutan kepada pemerintah Mesir agar menarik buku-buku Thaha Husein dari peredaran.
Al-Azhar, melalui badan ilmiahnya yang cukup bergengsi di dunia, Majma’ al-Buhuts al-Islamiyah (Pusat Penelitian Islam), pernah mengadili Ali Abdur Raziq karena bukunya, al-Islam wa Ushul al-Hukum, yang kontroversial itu dalam sebuah pengadilan yang dihadiri oleh dua puluh ulama lebih. Buku ini pernah membuat geger dunia Arab karena isinya menafikan adanya sistem politik dan pemerintahan dalam Islam. Pengadilan itulah yang memutuskan dicabutnya seluruh ijazah Al-Azhar yang pernah diberikan kepada Ali Abdur Raziq. Yang bersangkutan juga diberhentikan dari jabatannya sebagai hakim di Mahkamah Syari’ah di Mesir. Sampai sekarang, Al-Azhar masih terus memantau kitab-kitab yang ditulis oleh kaum sekuler dan menuntut pemerintah agar melarang peredarannya, termasuk buku-buku Nashr Abu Zeid belakangan ini. Dalam perizinan kitab di Mesir, suara Al-Azhar masih sangat didengar dan mempengaruhi kebijakan pemerintah. Inilah yang terus-menerus diserang oleh orang sekuler agar hak Al-Azhar dalam memberikan ketetapan atas suatu buku harus dicabut.
Nasr Abu Zeid adalah seorang associate frofessor (lektor kepala) di Fakultas Sastra Universitas Kairo. Di jajaran intelektual, dia masih dianggap muda, tetapi ambisi ingin menonjolnya tinggi. Pemikirannya banyak dipengaruhi oleh gurunya, Hasan Hanafi, yang mengajar filsafat di Fakultas Sastra Universitas Kairo. Abu Zeid ingin meraih gelar guru besar. Di perguruan tinggi Mesir, untuk menetapkan seseorang menjadi professor harus dibentuk panitia yang akan menilai karya-karya promovendus. Panitia ini terdiri atas beberapa guru besar dalam bidangnya. Yang menjadi ketua panitia karya-karya Abu Zeid ialah Prof. Abdussobur Shahin dari Fakultas Darul Ulum, Kairo. Setelah melakukan penelitian dan penilaian, Shahin dalam putusannya mengatakan bahwa Abu Zeid tidak layak menjadi guru besar karena karya-karyanya tidak ilmiah. Di sinilah asal muasal kasus Abu Zeid itu mencuat dan menjadi isu nasional bahkan internasional. Tetapi akhirnya, karena jaringan sekularisme di kampus dan di pemerintahan, Nasr Abu Zeid dikukuhkan juga menjadi guru besar.
Ulama tidak kehabisan akal. Ulama Al-Azhar bersama dengan ulama di luar Al-Azhar menempuh jalur hukum. Mereka mengajukan somasi ke pengadilan, dilengkapi dengan data dan fakta ilmiah dari tulisan-tulisan Abu Zeid atas keluarnya dari Islam. Ulama menuntut agar pengadilan memutuskan ia dan isterinya harus dipisah (fasakh). Tuntutan ini dikabulkan dan akhirnya Abu Zeid melarikan diri ke Leiden, Belanda. Di sana, ia diangkat menjadi guru besar Islamic Studies dan membimbing sarjana-sarjana dari Indonesia yang belajar kesana.
Di Indonesia, pertarungan serupa dapat ditemukan di pentas pemikiran, walaupun tidak seseru yang terjadi di Mesir. Tahun 70-an, Nurcholis Madjid telah melemparkan ide sekulernya, lalu ditanggapi oleh sejumlah intelektual muslim semisal: Endang Saifuddin al-Anshari, Prof. H.M. Rasyidi, dan lain-lain. Munawir Sjadzali (mantan menteri agama) pernah melemparkan ide kontroversialnya di seputar hukum waris. Ia dijawab oleh sejumlah kalangan intelektual, seperti Rifyal Ka’bah dan lain-lain. Tahun 1992, Nurcholish kembali melemparkan ide kontroversialnya seputar Ahlul Kitab, makna agama, jilbab, dan ide-ide lainnya. Ia dijawab dengan serentetan reaksi yang cukup keras, mulai dari “mimbar TIM” yang tersohor itu, lalu dilanjutkan di sejumlah media massa. Baru-baru ini (bulam September 2000), Anan Krishna dari kalangan nonmuslim, mengulangi gaya-gaya orang-orang sebelumnya. Ia memberikan “tafsir” seenaknya terhadap ayat Al-Qur’an dan ajaran Islam. Bahkan tidak hanya memberi tafsir, Anand dalam beberapa tulisannya melecehkan ajaran dan hukum syariat, sebuah sikap yang sangat menyinggung perasaan seorang muslim dan tidak dapat dimaafkan begitu saja. Ia mengklaim itu sebagai “apresiasi” terhadap Al-Qur’an. Apa pun namanya, puluhan istilah bisa dibuat, yang jelas, perbuatannya itu adalah membuat pemahaman baru yang menyimpang dan tidak dikenal di kalangan ulama.
Selain Anand, masih banyak lagi orang-orang yang “sakit”, ingin terkenal dan kontroversial akhir-akhir ini. Seandainya ia menyimpan “bibit penyakitnya” itu untuk dirinya sendiri, agaknya kaum muslimin tak terlalu masygul. Akan tetapi, ketika ide itu dipublikasikan di media massa dan disebarluaskan, ini sudah mempunyai arti lain. Mendiamkannya sama saja seperti menyetujui paham yang menyesatkan itu tersebar. Oleh karena itu bagi para cendekiawan muslim yang konsisten mengemban misi menegakkan Dien al-Islam, tidak boleh tinggal diam di dalam menghadapi serangan-serangan pemikiran mereka, kaum sekuler. Dengan demikian, para generasi muda yang sedang giat-giatnya mencari ilmu dan pemahaman agama, tidak kesasar menemukan jalan yang menyimpang dari pemahaman agama para ulama salaf yang lurus.
Sumber Tulisan Diadaptasi dari pengantar buku Penyesatan Opini, Adian Husaini, M.A. oleh Dr. Daud Rasyid, M.A. (2002)