Ya Ibad ~ Dalam
situs resmi Ya Ibad terdapat sebuah tulisan berjudul :
Prinsip Toleransi Beragama dalam Peradaban Islam. Tulisan ini diposting pada Jumat, 16 Desember 2011 - 22:31:10 WIB. Oleh Administrator. dan dimasukkan dalam Kategori : Agama Islam.
Baiklah kami kutipkan saja posting (yang akan kami koreksi) tersebut di sini:
=================
Prinsip Toleransi Beragama dalam Peradaban Islam
Islam telah mendirikan peradaban kita tetapi Islam tidak melecehkan agama-agama terdahulu dan tidak fanatic menghadapi pendapat-pendapat dan mahzab-mahzab yang beraneka macam. Bahkan Islam mempunyai semboyan tersendiri, mengenai hal ini yang tertuang di dalam Al Quranul Karim :
…Maka sampaikanlah berita gembira kepada hamba-hambaKu, yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik diantaranya… (QS. Az-Zumar : 17-18).
Karena itu, di antara prinsip-prinsip peradaban kita dalam toleransi keagamaan adalah :
1. Agama-agama samawi (langit) semua bersumber dari satu Tuhan sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an :
“Dia telah mensyariatkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwariskanNya kepada Nuh dan apa yang telah kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa, dan Isa yaitu : Tegakkanlah agama dan janganlah kamu terpecah-belah tentangnya…” (QS. Asy Syuura : 13).
2. Nabi-nabi adalah bersaudara, kaum muslimin wajib beriman kepada mereka semua. Hal ini ditegaskan Allah dalam firman-Nya :
“Katakanlah (hai orang-orang mukmin) : “Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim,Ismail, Ishaq, Ya’qub dan anak cucunya dan apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhan-Nya. Kami tidak membeda-bedakan seorangpun di antara mereka dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya.” (QS. Al Baqarah : 136)
3. Aqidah tidak dapat dipaksakan penganutannya, bahkan harus mengandung kerelaan dan kepuasan. Allah sudah menerangkan kepada kita :
Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam).. (QS. Al Baqarah 256)
…Patutkah engkau hendak paksa manusia sampai mereka jadi Mu’minin ? (QS. Yunus: 99)
4. Tempat-tempat ibadah bagi agama-agama Ilahi adalah terhormat, wajib dibela dan dilindungi seperti masjid-masjid kaum muslimin.
“…dan sekiranya tidak Allah melindungi manusia sebahagian dari mereka dengan sebahagiannya, niscaya dirubuhkan tempat-tempat pertapaan dan gereja-gereja Kristen dan tempat-tempat sembahyang Yahudi dan masjid-masjid yang banyak disebut nama Allah padanya; dan sesungguhnya Allah akan menolong siapa yang menolong (agama)-Nya..”
(QS. Al Hajj : 40).
5. Tidak selayaknya perbedaan dalam agama menyebabkan manusia saling membunuh atau saling menganiaya satu sama lain. Bahkan kita harus saling menolong dalam berbuat kebaikan dan memerangi kejahatan. Allah Ta’ala menerangkan kepada kita :
“…Tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran..” (QS. Al Maidah : 2).
Adapun keputusan mengenai perselisihan di antara mereka, Allah sendirilah yang menghakiminya kelak di hari kiamat.
“Dan orang-orang Yahudi berkata : “Orang-orang Nasrani itu tidak atas sesuatu (jalan yang benar)”, dan orang-orang Nasrani berkata : “Orang-orang Yahudi tidak atas sesuatu (jalan yang benar)”, padahal mereka membaca Kitab. Begitu juga orang-orang yang tidak mengetahui, berkata seperti perkataan mereka itu. Maka Allah akan mengadili di antara mereka pada hari kiamat tentang apa-apa yang mereka perselisihkan.” (QS. Al baqarah ; 113).
6. Kelebihutamaan di antara manusia dalam kehidupan dan di sisi Allah sesuai dengan kadar kebaikan dan kebajikan yang dipersembahkan seseorang dari mereka untuk dirinya dan untuk sesamanya. Allah berfirman :
“..Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu..(QS. Al Hujurat : 13).
7. Perbedaan dalam agama tidak menghalangi kita dalam berbuat kebaikan, silaturahmi, dan menjamu tamu.
“Pada hari ini dihalalkan bagimu (barang) yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula bagi mereka). (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al kitab sebelum kamu..” (QS. Al Maidah 5)
8. Jika manusia berselisih pendapat mengenai agama-agama mereka maka mereka boleh berdebat satu sama lain dengan cara yang paling baik dan dalam batas-batas kesopanan, dengan argumentasi dan memberikan kepuasan (kemantapan).
“Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zalim di antara mereka..” (QS. Al Ankabut : 46)
Kita juga tidak boleh mencela lawan yang berselisih atau mencaci aqidah mereka meskipun mereka kaum paganis (penyembah berhala). Hal ini diutarakan dalam Al-Qur’an :
“ Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan..”
(QS. Al an’am 108)
=================demikian apa yg tertulis
di sana=====
Terlihat dalam tulisan tersebut ada
8 point Prinsip Toleransi Beragama dalam Peradaban Islam.
Sebagai
Guru Besar Ya Ibad,
pertama, kami bangga dengan keberanian sampeyan untuk menulis pada
situs resmi Ya Ibad. Teruslah sampeyan menulis!
Kedua, kami sangat menyesalkan terbitnya tulisan sampeyan tersebut. Tulisan sampeyan masih mentah dan asal tulis tanpa didahului dengan penelitian dan pengkajian yang mendalam dan menyeluruh (holistik dan komprehensif) terhadap
ajaran Islam. Terus terang saja,
Kami tak pernah mengajarkan
8 point tersebut kepada
Jemaah Ya Ibad. Darimana sampeyan bisa mempunyai pemahaman yg terinfeksi
virus "SEPILIS" tsb ?!
Berikut ini adalah sedikit koreksi dari kami terhadap point pertama dan selanjutnya point ke-empat tulisan "
Prinsip Toleransi Beragama dalam Peradaban Islam" tsb :
Tulisan tersebut memenggal ayat sembarangan sehingga menjadi kabur makna sebenarnya. Ini merupakan kebiasaan dari kaum liberal, mendistorsi ayat suci! Boleh saja memenggal ayat dalam tulisan, asalkan sampeyan yakin tidak akan terjadi distorsi dari maksud / makna yg sebenarnya. Karena jika terjadi
distorsi dari maksud dan makna sebenarnya, maka sampeyan telah melakukan penyesatan.
Pada point pertama sampeyan menulis,
"Agama-agama samawi (langit) semua bersumber dari satu Tuhan sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an :
“Dia telah mensyariatkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwariskanNya kepada Nuh dan apa yang telah kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa, dan Isa yaitu : Tegakkanlah agama dan janganlah kamu terpecah-belah tentangnya…” (QS. Asy Syuura : 13)."
Demikian Point Pertama yg sampeyan tulis. Sedangkan pada point ke-empat, sampeyan menegaskan kembali pluralitas agama samawi dengan istilah : "agama-agama Ilahi"
Apakah yg dimaksud dengan
agama samawi ? Apakah sampeyan mengira bahwa Yahudi dan kristen adalah agama yang Alloh turunkan dari langit ? sayangnya sampeyan tak menjelaskan dengan gamblang.
Agama-agama Samawi hanya sampeyan jelaskan dalam "tanda kurung" yang berisi langit. Maka setiap pembaca akan memaknai
agama-agama samawi dengan "
agama-agama langit". Dan tertulis dengan pengulangan "
agama-agama samawi". Setiap pembaca akan memaknai bahwa
agama samawi berjumlah lebih dari satu (plural).
Ini sebuah kekeliruan besar !
Agama samawi hanya satu yaitu agama yang diturunkan Alloh swt kepada kepada para Nabi dan Rosul, disempurnakan pada Ibrohim, disempurnakan pada Musa, disempurnakan pada Isa, dan terakhir disempurnakan pada Muhammad SAW, yaitu
agama Tauhid yg hanif, yaitu Islam. Agama samawi dalam pengertian ini sering pula disebut sebagai "
Millah Ibrohim".
“Ibrohim bukanlah Yahudi atau Nasrani, tetapi dia adalah seorang yang hanif dan Muslim, dan dia bukanlah orang musyrik.” (
QS 3:67)
Ya Ibad tentu saja harus menyambut baik setiap usaha untuk
menciptakan toleransi dan perdamaian antara pemeluk-pemeluk agama di muka bumi. Namun,
Jemaah Ya Ibad perlu mengkaji dengan cermat, cara-cara yang digunakan untuk menciptakan
toleransi dan perdamaian tersebut, khususnya dalam hal yang berkenaan dengan ajaran Islam itu sendiri. Soal dialog antar-agama, dalam sejarah, sebenarnya bukanlah hal yang baru di dalam Islam. Sejak awal kemunculannya, umat Islam sudah terbiasa berdialog dengan siapa saja. Di Mekah, sebelum hijroh, Rosululloh saw dan para sahabat sudah berdialog dengan kaum musyrik Arab dan pengikut Kristen. Saat hijroh ke Habsyah, Ja’far bin Abdul Muthalib sudah berdialog keras dengan pengikut Kristen dan juga Raja Najasyi yang ketika itu masih memeluk agama Kristen. Di Madinah, Rosululloh saw melayani perdebatan dengan delegasi Kristen Najron.
Perhatikan lanjutan ayat QS. Asy Syuura ayat 13 yg sampeyan tulis di atas:
Dia telah mensyari’atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan ’Isa yaitu: Tegakkanlah agama [Islam] dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya (Islam). Allah menarik kepada agama itu (Islam) orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada [agama]-Nya orang yang kembali [kepada-Nya]. (13)
Dan mereka [ahli kitab] tidak berpecah belah melainkan sesudah datangnya pengetahuan kepada mereka karena kedengkian antara mereka. Kalau tidaklah karena sesuatu ketetapan yang telah ada dari Tuhanmu dahulunya [untuk menangguhkan azab] sampai kepada waktu yang ditentukan, pastilah mereka telah dibinasakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang diwariskan kepada mereka Al-Kitab [Taurat dan Injil] sesudah mereka, benar-benar berada dalam keraguan yang menggoncangkan tentang kitab itu. (14)
Maka karena itu serulah [mereka kepada agama itu / Islam] dan tetaplah sebagaimana diperintahkan kepadamu dan janganlah mengikuti hawa nafsu mereka dan katakanlah: "Aku beriman kepada semua Kitab yang diturunkan Allah dan aku diperintahkan supaya berlaku adil di antara kamu. Allah-lah Tuhan kami dan Tuhan kamu. Bagi kami amal-amal kami dan bagi kamu amal-amal kamu. Tidak ada pertengkaran antara kami dan kamu, Allah mengumpulkan antara kita dan kepada-Nyalah kembali [kita]" (15)
Dan orang-orang yang membantah [agama] Allah sesudah agama itu (Islam) diterima maka bantahan mereka itu sia-sia saja di sisi Tuhan mereka. Mereka mendapat kemurkaan [Allah] dan bagi mereka azab yang sangat keras. (16)
Silakan sampeyan renungkan, banyak ayat Al-Quran yang senantiasa mengajak kaum Yahudi dan Kristen untuk berdialog. Tetapi, jika sampeyan baca ayat-ayat Al-Quran, tentang masalah ini, sampeyan akan menemukan, bahwa posisi Al-Quran senantiasa jelas, yaitu posisi
menyeru kaum Yahudi-Kristen agar kembali kepada kalimah tauhid, kembali kepada ajaran inti yang dibawa oleh para nabi, yaitu ajaran
Tauhid. Dalam ayat lain, Misalnya, QS Ali Imron ayat 64 menyebutkan:
”
Katakanlah, wahai Ahlul Kitab, marilah kita kembali kepada ’kalimah yang sama’ (kalimatin sawa’) antara kami dan kalian semua, bahwa kita tidak menyembah selain Alloh dan tidak menyekutukan Alloh dengan sesuatu pun dan kita tidak menjadikan sebagian diantara kita sebagai tuhan selain Alloh. Jika mereka kafir (ingkar), maka katakan : saksikanlah bahwa kami adalah orang-orang Islam (Muslim).”
Sebagai Muslim,
Jemaah Ya Ibad harus yakin, bahwa Nabi Muhammad saw adalah nabi terakhir yang menegaskan kembali
ajaran tauhid yang dibawa para nabi sebelumnya.
Jamaah Ya ibad harus meyakini, bahwa semua Nabi, termasuk Nabi Ibrohim juga membawa
ajaran tauhid. Karena itu, ’
millah Ibrohim’, dalam pandangan Islam, adalah
agama tauhid. Dan saat ini, satu-satunya
agama Tauhid – dalam pandangan Islam – adalah agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. Maka, dalam perspektif Islam ini, istilah ”Agama-agama samawi” (agama-agama langit), dalam bentuk jamak yang memasukkan agama Yahudi dan Kristen sebagai ’millah Ibrohim’, adalah
aneh dan keliru. Seolah-olah, ada banyak agama Ibrohim.
“Sesungguhnya agama (yang diridai) di sisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barang siapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya.” (Ali ‘Imran: 19)
“Maka mengapa mereka mencari agama yang lain selain agama Allah, padahal kepada-Nya-lah berserah diri segala apa yang di langit dan di bumi, (baik) dengan suka maupun terpaksa dan hanya kepada-Nya-lah mereka dikembalikan?” (Ali ‘Imran: 83)
“Dan barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan di akhirat dia termasuk orang-orang yang merugi.” (Ali ‘Imran: 85)
Sabda Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam:
“Islam itu tinggi dan tidak ada yang mengalahkan ketinggiannya.”
Jika sampeyan telusuri lebih jauh lagi, akan tampak kerancuan penggunaan istilah ”Agama-agama samawi” (millah Ibrohim) ini. Misalnya, dalam agama Yahudi (Judaism) dan Kristen (Christianity), terdapat begitu banyak sekte dan bahkan agama-agama yang berbeda-beda. Apakah semuanya juga ’
millah Ibrohim’? Tentu tidak mungkin seperti itu. Sebab, agama Ibrohim adalah satu, dan yang satu itu adalah
agama Tauhid.
Dalam hal inilah, sampeyan bisa melihat, banyaknya cendekiawan yang kurang hati-hati dalam mengadopsi istilah-istilah tertentu. Dalam perspektif netral agama, secara historis-fenomenologis, bisa saja Islam, Kristen, dan Yahudi dimasukkan ke dalam kategori
Agama-Agama samawi, karena ketiganya memiliki klaim sebagai pewaris ajaran Ibrohim. Tetapi, Al-Quran sudah menjelaskan apa yang dimaksud dengan
millah Ibrohim yang hanif. “Dan siapakah yang lebih baik din-nya daripada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Alloh, sedang dia pun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti millah Ibrohim yang hanif.” (QS 4:125). “Ibrahim bukanlah Yahudi atau Nasrani, tetapi dia adalah seorang yang hanif dan Muslim, dan dia bukanlah orang musyrik.” (QS 3:67).
Dengan penegasan Al-Quran itu, tidaklah tepat jika ada cendekiawan yang mengakui bahwa agama Kristen dan Yahudi saat ini termasuk ke dalam kategori "Agama samawi" / “millah Ibrahim” yang hanif. Jika kaum Yahudi dan Kristen mengklaim mereka sebagai pelanjut agama Ibrohim atau sebagai
agama samawi, itu adalah urusan mereka. Tetapi, sebagai Muslim, seyogyanya pandangan sampeyan bersandar kepada
konsep-konsep yang diajarkan dalam Al-Quran dan Assunnah.
Dalam konferensi tahun 1979, melalui makalah yang berjudul “Islam and Christianity in the Perspective of Judaism”, Michel Wyschogrod, profesor filsafat di Baruch College, City University, New York, memaparkan persoalan mendasar dalam pemahaman keagamaan antara Yahudi, Kristen, dan Islam. Yahudi dan Kristen bersekutu dalam Bibel (Perjanjian Lama). Tetapi berbeda secara mendasar dalam soal trinitas. Dengan Islam, Yahudi tidak bermasalah dalam soal pengakuan Tuhan yang satu (monotheism). Tetapi, Muslim memandang bahwa telah terjadi penyimpangan (tahrif) yang serius pada Kitab Yahudi (juga Kristen).
Gambaran Prof. Michel Wyschogrod tentang Islam tersebut tidak sepenuhnya benar. Monoteisme memang mengakui Tuhan yang satu. Tetapi,
monoteisme tidak sama dengan Tauhid. Istilah ini juga sering disalahpahami, seolah-olah monoteisme sama dengan Tauhid. Dalam konsep Islam, tauhid adalah mengakui Alloh sebagai satu-satunya Tuhan dan ada unsur ikhlas, rela diatur tanpa syarat oleh Alloh SWT. Karena itu, jika orang menyembah Tuhan yang satu, tetapi yang ‘yang satu’ itu adalah Fir’aun, maka dia tidak bertauhid. Iblis pun tidak bertauhid, tetapi kafir, karena menolak tunduk kepada Alloh, meskipun dia mengakui Alloh sebagai satu-satunya Tuhan.
Dalam perspektif Islam inilah, memasukkan agama Yahudi (Judaism), sebagai ‘millah Ibrohim’ juga patut dipertanyakan. Kaum Yahudi memang menyembah Tuhan yang satu. Tetapi, hingga kini, mereka masih berselisih paham tentang siapa Tuhan yang satu itu? Sebagian menyebut-Nya sebagai ‘Yahweh’. Tetapi, dalam tradisi Yahudi, nama Tuhan tidak boleh diucapkan. Oxford Concise Dictionary of World Religions menulis: “Yahweh: The God of Judaism as the ‘tetragrammaton YHWH’, may have been pronounced. By orthodox and many other Jews, God’s name is never articulated, least of all in the Jewish liturgy.”
Jadi, hingga kini, belum jelas, siapa nama Tuhan Yahudi.
Karena menolak beriman kepada kenabian Muhammad saw, maka kaum Yahudi kehilangan jejak kenabian dan Tauhid, karena kehilangan data-data valid dalam Kitab mereka. Th.C.Vriezen, dalam buku ”Agama Israel Kuno” (Jakarta: BPK, 2001), menulis, bahwa “Ada beberapa kesulitan yang harus kita hadapi jika hendak membahas bahan sejarah Perjanjian Lama secara bertanggung jawab. Sebab yang utama ialah bahwa proses sejarah ada banyak sumber kuno yang diterbitkan ulang atau diredaksi (diolah kembali oleh penyadur)… Namun, ada kerugiannya yaitu adanya banyak penambahan dan perubahan yang secara bertahap dimasukkan ke dalam naskah, sehingga sekarang sulit sekali untuk menentukan bagian mana dalam naskah historis itu yang orisinal (asli) dan bagian mana yang merupakan sisipan.”
Dalam sejumlah buku studi Islam di Perguruan Tinggi, masih ada yang menulis bahwa agama Yahudi adalah agamanya Nabi Musa a.s. Bahkan, Prof. Harun Nasution, dalam buku Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, menyebut agama Yahudi sebagai agama yang memelihara kemurnian Tauhid. Padahal, agama nabi Musa adalah agama Tauhid yang kemudian dilanjutkan oleh Nabi Muhammad saw. Jika Yahudi memeluk agama Nabi Musa, pasti mereka akan menerima kenabian Muhammad saw. Al-Quran banyak menyebutkan tindakan kaum Yahudi yang mengubah-ubah kitab mereka, sehingga mereka keluar dari jalan kebenaran. (QS 2:59, 75, 79, dll).
Senada dengan Yahudi, Kristen juga menolak kenabian Muhammad saw dan bahkan mengangkat status Nabi Isa a.s. sebagai Tuhan. Al-Quran memberikan kritik-kritik yang sangat mendasar terhadap konsep ketuhanan Kristen ini. (QS 19:88-91, 5:72-75, dll.). Secara tegas, Al-Quran menyebutkan, bahwa Nabi Isa a.s. pernah menyeru Bani Isroil agar mengakuinya sebagai Rosul, utusan Alloh, dan mengabarkan kedatangan Nabi Muhammad saw. Karena itulah, Islam memandang, kaum Kristen telah melakukan penyimpangan aqidah, karena mengangkat Nabi Isa a.s. sebagai Tuhan, bukan sebagai utusan Alloh. Dengan konsep itu, mereka menolak untuk beriman kepada kenabian Muhammad saw. Segaimana kaum Yahudi, kaum Kristen di Barat tidak mengenal nama Tuhan mereka. Mereka hanya menyebut Tuhannya sebagai “God” atau “Lord”.
Soal nama Tuhan, masih diperselisihkan, dalam agama Kristen.
Karena itu, dalam pandangan Islam, yang bisa dimasukkan ke dalam kategori sebagai ‘millah Ibrohim’ dan agama samawi saat ini, hanyalah agama Islam, agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. Kaum Muslim begitu dekat dengan nabi Ibrohim a.s.. Setiap shalat, kaum Muslim membaca doa untuk Nabi Ibrohim. Begitu juga, salah satu hari raya umat Islam adalah
hari raya Idul Adha yang terkait erat dengan kisah perjuangan dan perjalanan hidup Nabi Ibrahim a.s..
Dari sinilah, kita memahami, bahwa sebaiknya istilah “
Agama-agama samawi /
Abrahamic Faiths” tidak digunakan. Apalagi, dalam bentuk jamak (plural) yang menunjukkan bahwa ada banyak agama Ibrohim. Padahal, agama Nabi Ibrahim hanya satu, yaitu
agama Tauhid, yang kemudian dilanjutkan oleh para Nabi sesudahnya, sampai nabi terakhir, Muhammad saw. Nabiyulloh Ibrohim a.s. begitu gigih dalam memperjuangkan
Tauhid, sampai harus berhadapan dengan keluarganya sendiri dan diusir dari tanah kelahirannya.
Sebagaimana yang lalu-lalu, kita berulangkali mengimbau, kiranya sampeyan berhati-hati dalam menggunakan istilah. Tanpa menggunakan istilah-istilah yang aneh-aneh, kita bisa melakukan dialog dengan kaum Yahudi, Kristen, dan sebagainya. Tidak perlu menjustifikasi hal-hal yang bertentangan secara tegas dengan konsep-konsep dasar Islam. Dalam pandangan Islam, perdamaian dan
toleransi adalah penting. Tetapi, Tauhid lebih penting. Karena itulah, Rosululloh saw memilih tidak berdamai dengan paman-pamannya yang
menolak
Tauhid dan
lebih mengutamakan syirik. Ummat Islam menghormati perbedaan. Ummat Islam ingin
perdamaian dan toleransi. Ummat Islam siap berdialog dan berdamai. Tetapi, dalam
toleransi dan perdamaian itu, perspektif dan posisi Ummat Islam sebagai
Manusia yg ber-tauhid harus
dinyatakan secara tegas. Justru,
toleransi dan perdamaian itu akan terjadi, jika masing-masing pihak memiliki posisi yang jelas. Jika tidak, maka dapat muncul
sikap kepura-puraan dan kemunafikan.