Pak Ustadz, benarkah jihad melawan hawa nafsu itu lebih tinggi kedudukannya dibandingkan dengan jihad fisik/perang melawan orang-orang kafir dan musuh-musuh Islam?.
Bambang, Bekasi
Saudara Bambang yang dirahmati Allah
Secara bahasa, jihad dimaknai dengan: mengerahkan kemampuan dan tenaga yang ada, baik dengan perkataan maupun perbuatan (lihat Fayruz Abadi, Kamus Al-Muhîth, kata ja-ha-da.) Jihad juga bisa berarti:mengerahkan seluruh kemampuan untuk memperoleh tujuan (An-Naysaburi,Tafsîr an-Naysâbûrî, XI/126).
Secara syar‘î (syariat), para ahli fikih mendefinisikan jihad sebagai upaya mengerahkan segenap kekuatan dalam perang fi sabilillah secara langsung maupun memberikan bantuan keuangan, pendapat, atau perbanyakan logistik, dan lain-lain (untuk memenangkan pertempuran). Karena itu, perang dalam rangka meninggikan kalimat Allah itulah yang disebut dengan jihad. (An-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah, II/153. Lihat juga, Ibn Abidin, Hâsyiyah Ibn Abidin, III/336). Di dalam Al Quran, jihad dalam pengertian perang ini terdiri dari 24 kata. (Lihat Muhammad Husain Haikal, Al-Jihâd wa al-Qitâl, I/12).
Kedudukan Jihad Dalam al-Quran dan Hadits
Al Quran telah menempatkan amalan jihad pada urutan yang paling utama di antara ibadah-ibadah yang lain. Al Quran menyatakan dengan sangat jelas, agar kaum Muslim mencintai Allah dan Rasul-Nya, serta jihad di jalan Allah di atas cintanya kepada yang lain (lihat QS. At Taubah [09]: 24). Al Quran juga melebihkan mujahid (orang yang pergi berjihad) di atas orang tidak pergi berjihad (lihat QS. An-Nisa’ [04]: 95-96].
Al-Quran juga telah menetapkan waktu yang dihabiskan oleh seorang mujahid ketika melaksanakan kewajiban jihad, serta kesibukan dirinya dengan aktivitas jihad sebagai waktu yang penuh dengan keberkahan (lihat QS. At Taubah [09]: 120-121). Selain itu, Allah Swt juga telah menerangkan jihad sebagai perdagangan yang penuh keuntungan dan keberkahan (lihat QS. As Shaff: 10-12).
Inilah beberapa ayat di dalam Al Quran yang menjelaskan keutamaan dan keagungan jihad fi sabilillah serta kedudukan kaum mujahid. Masih banyak ayat lain yang menjelaskan keluhuran dan keutamaan jihad fi sabilillah.
Sementara di dalam hadits juga banyak disebutkan keutamaan jihad atas amal kebaikan yang lain. Imam Bukhari meriwayatkan sebuah hadits dari Anas bin Malik ra, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: "Berjaga-jaga pada saat berperang di jalan Allah lebih baik daripada dunia dan seisinya". Hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Muslim, Turmudziy, dan lain-lain.
Imam Bukhari juga menuturkan sebuah hadits dari Abu Dzar ra, bahwasanya ia pernah bertanya kepada Rasulullah saw: "Amal apa yang paling utama? Nabi saw menjawab, "Iman kepada Allah, dan jihad di jalanNya”. Al-Hafidz Ibnu Hajar mengatakan, 'Hadits ini menunjukkan bahwa jihad merupakan amal yang paling utama setelah iman kepada Allah." (lihat Al-Hafidz Ibnu Hajar, Fath al-Baariy, juz 5/149)
Imam Ahmad menuturkan bahwasanya Nabi saw bersabda: "Sesungguhnya, kedudukan kalian di dalam jihad di jalan Allah, lebih baik dari pada sholat 60 tahun lamanya". Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Turmudziy disebutkan, bahwa jihad lebih baik daripada sholat di dalam rumah selama 70 tahun. Masih banyak lagi riwayat yang menuturkan keutamaan dan keagungan jihad di atas amal kebaikan yang lain.
Jihad Melawan Hawa Nafsu
Meskipun keutamaan jihad fi sabilillah di atas amal perbuatan lain telah ditetapkan berdasarkan nash-nash syara', akan tetapi ada sebagian orang yang memahami, bahwa jihad melawan hawa nafsu (jihad al-nafs) merupakan jihad besar (jihad al-akbar) yang nilainya lebih utama dibandingkan dengan jihad fi sabilillah dengan makna perang fisik melawan orang-orang kafir. Dasar yang mereka pakai adalah hadits yang berbunyi:" Kita baru saja kembali dari jihad kecil menuju jihad yang besar. Para sahabat bertanya, "Apa jihad besar itu?, Nabi SAW menjawab, "Jihaad al-qalbi (jihad hati).' Di dalam riwayat lain disebutkan jihaad al-nafs". (lihat Kanz al-'Ummaal, juz 4/616; Hasyiyyah al-Baajuriy, juz 2/265)
Pendapat ini kurang tepat, dengan alasan:
Pertama, status hadits jihaad al-nafs lemah, baik ditinjau dari sisi sanad maupun matan. Dari sisi sanad, isnad hadits tersebut lemah (dla'if). Al-Hafidz al-'Iraqiy menyatakan bahwa isnad hadits ini lemah. Menurut Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalaaniy, hadits tersebut adalah ucapan dari Ibrahim bin 'Ablah. (lihat kitab Al Jihad Wal Qital Fi Siyasah Syar’iyah karya Dr. Muhammad Khair Haikal)
Dari sisi matan hadits (redaksi), redaksi hadits jihaad al-nafs di atas bertentangan nash baik Al Qur’an maupun Hadits yang menuturkan keutamaan jihaad fi sabilillah di atas amal-amal kebaikan yang lain. Oleh karena itu, redaksi (matan) hadits jihad al-nafs tidak dapat diterima karena bertentangan dengan nash-nash lain yang menuturkan keutamaan jihad fi sabilillah di atas amal-amal perbuatan yang lain.
Kedua, seandainya keabsahan hadits ini tidak kita perbincangkan, maka lafadz jihad al-akbar yang tercantum di dalam hadits itu wajib dipahami dalam konteks literal umum; yakni perang hati atau jiwa melawan hawa nafsu dan syahwat serta menahan jiwa untuk selalu taat kepada Allah swt. Artinya lafadz itu dipahami sekedar makna bahasa (lughawiy) saja, bukan makna urfiy (konvensi umum) apalagi makna syar’iy. Sebab menurut Dr. Husain Abdullah dalam kitab Mafahim Islamiyah, suatu lafadz jika memiliki makna bahasa, syar'iy, dan 'urfiy, maka harus dipahami berdasarkan makna syar'iynya terlebih dahulu. Baru kemudian dipahami pada konteks 'urfiy (konvensi umum), dan lughawiy (literal).
Lafadz jihad (jihad al-akbar) yang termaktub di dalam ’hadits’ jihaad al-nafs harus dipahami berdasarkan pengertian lughawiy. Karena kata jihad dalam konteks syar'iy dan urfiy, telah dipahami sebagai perang melawan orang kafir (perang fisik), dan tidak boleh diartikan dengan perang melawan hawa nafsu dan syahwat.
Kesimpulan
Dari sini dapat kita simpulkan bahwa jihad melawan hawa nafsu tidak lebih utama kedudukannya dibandingkan dengan jihad dalam arti berperang melawan orang kafir di jalan Allah. Sebab, keutamaan jihad fi sabilillah di atas amal-amal kebaikan yang lain telah disebutkan secara mutlak di dalam nash-nash syara'. Wallahu A’lam bi shawab.
Ya Ibad ~