Ya Ibad ~ Perlu kita sadari, bahwa gerakan amar ma’ruf nahi munkar (
hisbah) di Indonesia sudah dimulai bersamaan dengan masuknya Islam ke Nusantara pada awal abad kedua Hijriyyah / kedelapan Miladiyyah, yang kemudian melahirkan
kerajaan Islam Perlak di Aceh pada tanggal I Muharram 225 H di bawah pimpinan Sultan Alâiddin Sayyid Maulana ‘Abdul ‘Azîz Syâh bin ‘Ali Al-Hâris Al-Mu’tabar bin Muhammad Ad-Dîbâj bin Al-Imâm Ja’far Ash-Shâdiq bin Al-Imâm Muhammad Al-Bâqir bin Al-Imâm ‘Ali Zainal ‘Âbidîn bin Sayyidinâ Husein cucu Rasulullah SAW. Bacalah kitab ” Ulama Pembawa Islam di Indonesia dan sekitarnya ” terbitan Lentera, karya Al-Ustâdz Al-Hâjj Muhammad Syamsu As.
Kemudian dari Perlak, Islam merambah ke seluruh negeri, termasuk tanah Jawa yang diislamkan oleh
para Walisongo yang mulia. Mereka tidak lain dan tidak bukan adalah keturunan dari Al-Imâm ‘Abdul Mâlik Âli ‘Azhmatul Khân ibnu Al-Imâm ‘Alwi ‘Ammil Faqîh, keturunan ke – 17 dari Rasulullah SAW *(Ali Bin Abi Thalib?, karena garis keturunan yg syah dari laki-laki, patrilineal, dan karena Nabi Muhammad Bukanlah Bapak dari seseorang dari kamu, editor) melalui cucunya Sayyidunâ Al-Husein ra. Lihat kitab dan monogram Silsilah Leluhur ‘Alawiyyin keturunan Al-Imâm Al-Husein ra, karya almarhum Sayyid Muhammad Hasan ‘Aidîd, keluaran Penerbit Amal Saleh. Kitab dan monogram tersebut merupakan rangkuman sistematis dari kitab Samsyu Azh-Zhahîrah karya Al-Imâm ‘Abdurrahmân bin Muhammad Al-Masyhûr Ba ‘Alawi Al-Husaini rhm yang telah ditahqiq oleh almarhûm As-Sayyid Muhammad Dhiyâ’ Syihâb.
Menakjubkannya, saat para da’i pembawa Islam datang ke Nusantara 12 abad yang lalu, negeri ini 100 % hidup dalam alam jâhiliyyah. Kemusyrikan dan kebathilan ada di mana-mana. Tantangan yang mereka hadapi begitu dahsyat, mulai dari rakyat yang musyrik hingga para raja yang kafir. Namun, Subhánalláh wal Hamdulilláh, dengan izin Allah SWT, akhirnya mereka dan generasi berikut yang meneruskan perjuangan mereka, berhasil mengislamkan 90 % penduduk negeri ini.
Seharusnya tugas generasi yang ada saat ini hanya tinggal menyempurnakan apa yang telah dilakukan pendahulunya. Namun apa yang terjadi ? Sedikit demi sedikit, perlahan tapi terasa, umat ini sepertinya sedang digiring oleh suatu kekuatan syaithániah agar kembali ke alam jáhiliyyah. Pemurtadan terjadi di mana-mana, upaya deislamisasi begitu gencar dipropagandakan setiap saat.
Jadi berbagai usaha da’wah yang arif dan bijak telah dilakukan oleh para da’i pembawa Islam ke negeri ini sejak ratusan tahun yang lalu. Bahkan tindakan tegas dalam mencegah kemunkaran sudah sejak lama diambil oleh para pendahulu kita. Lihatlah bagaimana saat Walisongo mengambil keputusan
hukuman mati kepada Syeikh Siti Jenar, karena ajaran wihdatul wujûd-nya yang dinilai telah menyimpang dari Islam.
Kisah Syeikh Siti Jenar tersebut dipaparkan dengan rinci oleh Wiji Saksono, dalam bukunya Mengislamkan Tanah Jawa, halaman 47 – 66. Dan diulas secara ringkas oleh Ust. Maftuh Ahnan dalam bukunya Wali Songo, Hidup dan Perjuangannya, halaman 65 – 68. Para Walisongo hidup sekitar akhir abad 14 M hingga awal abad 15 M. Sedang Achmad Chodjim memaparkan dengan panjang lebar tentang pemikiran dan paham Syeikh Siti Jenar yang ditentang keras para Walisongo dalam bukunya yang berjudul Syeikh Siti Jenar. Pengambilan hukuman mati terhadap Syeikh Siti Jenar merupakan penegakan Syari’at Islam dalam bentuk pelaksanaan hukum hudûd dalam masalah Ar-Riddah ( kemurtadan ), yang artinya pelaksanaan hukum had tersebut merupakan tonggak sejarah bagi penegakan
Hukum Pidana Islam di bumi Indonesia.
Tidak sampai di situ, bahkan di Indonesia jauh sebelum kedatangan para penjajah, telah berdiri berbagai
Kesultanan Islam yang menjadikan Islam sebagai agama negara dan syari’atnya sebagai hukum negara. Semangat amar ma’ruf nahi munkar dalam penegakan Syari’at Islam di Indonesia telah mampu mendorong kaum muslimin Indonesia untuk mengobarkan perlawanan habis-habisan terhadap para penjajah yang menzholimi bangsa Indonesia selama tidak kurang dari tiga setengah abad.
Di hampir semua peperangan kaum muslimin melawan Belanda, Inggris dan Portugis, nyata sekali
semangat Jihad menegakkan Islam. Hal ini bisa kita ketahui melalui bukti historis, seperti peninggalan sejarah, pernyataan para tokohnya, gelar perjuangannya, tata cara pergerakannya, dan lain sebagainya dari simbol Islam yang digunakannya. Ust. H. Muhammad Syamsu As dalam kitab Ulama pembawa Islam di Indonesia dan sekitarnya memaparkan sejumlah bukti historis keterkaitan perjuangan mereka dengan pergerakan Islam, antara lain :
1. Perang Palembang ( 1658 – 1851 M )
Kesultanan Palembang Darussalam sejak berdirinya pada sekitar tahun 1650 M sudah menerapkan Hukum Islam. Gelar Sultannya adalah Khalifatul Mu’minin Sayyidil Imam.
Sejak tahun 1658 M, Kesultanan melakukan perlawanan besar-besaran terhadap Belanda dan Inggris hingga tahun 1851 M, sampai akhirnya jatuh setelah banyak keluarga kesultanan dan rakyatnya yang dibuang dan dibunuh oleh musuh.
Semangat membela Islam dan umatnya telah mendorong para Sultan Palembang berada di barisan terdepan memimpin rakyatnya dalam jihad melawan Belanda selama hampir 200 tahun.
Hukum Islam yang diterapkan, sebutan Darussalam untuk Palembang dan gelar Khalifah bagi Sultannya, merupakan bukti autentik keislaman negeri Palembang dan perjuangannya.
2. Perang Bone ( 1814 – 1946 M )
Kerajaan Bone yang berdiri sejak tahun 1335 M, mulai mengenal Islam pada tahun 1611 M ketika Sultan Adam ( Raja Bone XI ) memeluk Islam.
Di tahun 1814 M, Kesultanan Bone melakukan perlawanan terhadap Inggris dan Belanda yang mencoba menjajah Bone. Bahkan hingga Sultan Bone yang terakhir ( 1931 – 1946 M ), dengan gagahnya sang Sultan memimpin rakyatnya mengobarkan perlawanan jihad terhadap penjajah. Lebih dari 130 tahun, api Jihad berkobar di tanah Bugis tanpa henti.
Satu ungkapan terkenal dalam bahasa Bugis dari Raja Bone XXXI ketika ditangkap dan dibuang Belanda pada tahun 1905 berbunyi :
” Mauna sia labelateppa ri saliweng langi rekkua tellesang muni ada assituru kenna kitta naturungede Nabi Muhammad Nabiku, apa iya ri watakku nanggalo sia tubuhku temanggolo sia bela atikku ri Kompeni ”.
Artinya : ” Kendati saya akan terdampar di luar bumi sekali pun, asalkan tidak goyah imanku kepada kitab yang diturunkan kepada nabi Muhammad Nabiku, biar tubuhku menghadap atau tertawan tetapi hatiku pantang menyerah kepada kompeni ”.
Ini salah satu bukti keteguhan Kesultanan Bone dalam membela Islam dan menegakkan ajarannya.
3. Perang Paderi ( 1821 – 1837 M )
Muhammad Shahab diberi gelar Peto Syarif oleh masyarakatnya. Arti Peto Syarif adalah Ulama yang mulia. Di awal tahun 1800-an Miladiyyah, ia membangun sebuah kampung di Bukit Gunung Jati - Padang, yang kemudian dikenal dengan nama kampung Bonjol. Selanjutnya beliau pun lebih dikenal dengan sebutan Tuanku Imam Bonjol. Beliau berhasil menjadikan Bonjol sebagai pusat penyebaran Islam ke seluruh Minangkabau.
Dalam rangka membela diri dan menjaga keamanan da’wah Islam dari gangguan dan serangan Kaum Adat yang senang ma’siat. Imam Bonjol membentuk barisan amar ma’ruf nahi munkar (hisbah) yang berseragam serba putih. Barisan ini dikenal dengan sebutan Kaum Paderi.
Dalam waktu singkat Kaum Paderi berhasil mengalahkan Kaum Adat dan menguasai hampir seluruh Minangkabau. Mereka pun membuat Undang-Undang Paderi yang melarang segala bentuk ma’siat yang selama ini telah membudaya di Minang seperti menyabung ayam, minum tuak, berjudi dan menghisap madat.
Di tahun 1821 M, Belanda membantu Kaum Adat untuk memerangi Kaum Paderi yang dianggap berbahaya bagi kekuasaan kafir Kompeni. Perang pun pecah, Kaum Paderi banyak memetik kemenangan di berbagai pertempuran.
Di tahun 1833 M, Belanda membuat selebaran dengan sebutan Pelakat Panjang yang menyerukan bahwasanya Belanda dan Islam itu satu tuhan dan tidak ada permusuhan. Selebaran itu untuk membujuk Kaum Paderi, namun gagal, perang pun tetap berlanjut. (Di sini terlihat jelas bahwa Akidah Pluralisme memang merupakan senjata kaum kafir imprealist untuk meneguhkan kekuasaan mereka, Editor)
Di tahun 1837 M, Belanda dengan licik menyerbu tempat tinggal keluarga Imam Bonjol dan melukai istri serta anak beliau. Akhirnya, Imam Bonjol terpancing kembali dari medan tempur untuk menyelamatkan keluarganya, beliau pun terkepung dan tertangkap. Kemudian beliau dibuang dari satu tempat ke tempat lainnya, terus berpindah-pindah hingga beliau wafat pada usia 92 tahun di tahun 1864 M.
Mulai dari nama, gelar, pakaian, bentuk perjuangan dan pemberantasan kema’siatan hingga Jihad melawan kafir Belanda oleh Imam Bonjol dan pengikutnya, adalah murni merupakan perjuangan Islam sejati. Bahkan dari hasil perjuangan Kaum Paderi inilah lahir filsafat islami kehidupan masyarakat Minang yang sangat terkenal, yaitu :
”Adat bersendi Syara’, dan Syara’ bersendi Kitabullah ”.
Artinya : ” Adat harus berdasarkan Syari’at, dan Syari’at harus berdasarkan Kitab Allah ( Al-Qur’an ) ”.
4. Perang Diponegoro ( 1825 – 1830 M )
Pangeran Diponegoro dengan gagah berani memimpin kaum muslimin Jawa melawan keangkuhan Belanda di tahun 1825 M. Ikut bergabung bersama beliau sekitar 23 Pangeran dan 53 Bangsawan Jawa. Para Ulama pun tidak ketinggalan berjihad bersamanya, seperti Kyai Maja dan Ki Sentot Ali Basyah Prawiradirdja, keduanya menjadi Panglima Perang Pangeran Diponegoro.
Diponegoro dinobatkan sebagai Sultan oleh para pengikutnya dan diberi gelar Sultan Ngabduhamid Herucokro Amirul Mu’minin Panotogomo Jowo. Artinya Sultan Abdulhamid Pemimpin Kaum Mu’minin Pengatur Agama Masyarakat Jawa. Gelar ini menjelaskan bahwasanya Diponegoro adalah pejuang Islam yang menegakkan ajaran Islam bagi rakyat Jawa.
Sebutan Amirul Mu’minin ditambah dengan corak pakaian Diponegoro dan para panglima perangnya yang lekat dengan budaya Islam, semakin memperkuat bukti keislaman perjuangan dan perlawanannya terhadap Belanda.
Selama 5 tahun, Diponegoro mengobarkan perlawanan terhadap Belanda. Sekali pun banyak anggota keluarga Keraton dan pengikut setianya yang mati atau ditangkap oleh kafir Belanda, Diponegopro tetap meneruskan perjuangannya tanpa mengenal lelah.
Akhirnya di tahun 1830 M, Belanda menggunakan cara licik untuk menangkap Diponegoro. Lewat jebakan perundingan, Diponegoro pun ditangkap dan dibuang ke Menado, kemudian Ujung Pandang. Selama 25 tahun Diponegoro dikurung, hingga beliau wafat dalam pengasingan di tahun 1855 M.
5. Perang Aceh ( 1873 – 1942 )
Undang-Undang Dasar Kerajaan Aceh Darussalam yang disebut dalam ”Kanun Maukuta Alam” adalah berdasarkan Hukum Islam yang bersumber pada Al-Qur’an, Al-Hadits, Al-Ijma’ dan Al-Qiyas.
Filsafat kehidupan rakyat Aceh yang amat terkenal di antaranya adalah salah satu ungkapan dalam Hadih Maja yang berbunyi :
” Hukoom ngon adat, lague zat ngon sifeut ”
Artinya : ” Hukum agama dengan hukum adat, laksana zat dengan sifat ”.
Ungkapan lainnya :
” Al-Jihadu wajibun ‘alaikum, that muphon wehe syedara : Phon cahdat, ngon seumayang, teulhee tamuprang ngon Holanda ”.
Artinya : ” Jihad itu wajib atas kamu sekalian, pahamilah baik-baik wahai sahabat. Yang pertama Syahadat, dan ( yang kedua ) Shalat, yang ketiga PERANG dengan (melawan ) Belanda ”.
Semangat Jihad menegakkan Islam telah membuat kaum muslimin Aceh begitu gigih melakukan perlawanan terhadap Belanda, sehingga tiada hari tanpa jihad di Aceh sejak upaya Belanda menguasai Aceh pada tahun 1873 hingga kekalahan Belanda dari Jepang di tahun 1942. Selama 70 tahun, kaum muslimin Aceh mengobarkan api Jihad melawan kaum kafirin Belanda.
Islam sebagai dasar hukum Kerajaan Aceh, sebutan Darussalam baginya, filsafat Islami kehidupan rakyatnya, semua itu menjadi bukti tak terpungkiri bagi keislaman Aceh yang begitu mendasar dalam tiap langkah perjuangannya.
6. Perang Riau ( 1782 – 1784 M )
Dalam buku Salasilah Indra Sakti yang ditulis oleh Luqmanul Hakim Putra, saya mendapatkan keterangan bahwa Kesultanan Riau berdiri pada tahun 1722 M di bawah kepemimpinan Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah, cucu dari Raja Abdul Jalil Riayatsyah yang menjadi Raja Johor ( 1699 – 1719 M ). Sebelumnya adalah bagian dari Kerajaan Johor.
Semula pusat pemerintahan Kesultanan Riau ada di Daik, pulau Lingga, yang dikenal dengan sebutan Tanah Bunda Melayu. Baru pada tahun 1900 M dipindah ke pulau Penyengat yang letaknya berhadapan dengan Tanjung Pinang di pulau Bintan.
Selama puluhan tahun Belanda berusaha menguasai Riau, namun benteng pertahanan laut di Kepulauan Riau sangat kokoh dan tangguh hingga sulit ditembus oleh musuh. Akhirnya meletus perang besar selama dua tahun antara Kesultanan Riau dan Belanda pada tahun 1782 hingga 1784 M. Namun demikian semangat jihad masyarakat Riau bersama para Sultannya membuat Belanda tetap belum mampu menguasai Riau. Baru pada tahun 1911 M, setelah perang habis-habisan, Belanda menguasai Kesultanan Riau secara mutlak.
Kesultanan Riau sejak berdiri sudah menjadikan Islam sebagai identitasnya. Bahkan tercatat dalam sejarah bahwa Kesultanan Riau pernah memiliki seorang Ulama besar yang menjadi Yang Dipertuan Muda dari tahun 1844 hingga 1857 M, yaitu Raja Ali Haji.
Raja Ali adalah seorang Ulama, Pujangga, Budayawan, Ahli Siasat dan Pemerintahan. Dari tangannya dihasilkan karya-karya besar, antara lain :
1. Ats-Tsamarat Al-Muhimmah, yaitu kitab pegangan para pejabat pemerintahan.
2. Muqaddimah fil Intizham, yaitu kitab undang-undang kesultanan.
3. Bustanul Katibin, yaitu kitab Kamus Bahasa Melayu.
4. Tuhfatun Nafis, yaitu kitab sastra sejarah.
5. Gurindam Dua Belas, yaitu kitab syair melayu tentang nasihat agama.
Semua ini menjadi bukti tak terpungkiri tentang kelekatan Kesultanan Riau dengan ajaran dan perjuangan Islam. Bahkan jika kita perhatikan isi kandungan Gurindam Dua Belas yang kini menjadi filsafat kehidupan bangsa Melayu, tidak lain dan tidak bukan adalah intisari ajaran Islam. Di sini kita kutip beberapa diantaranya :
a. Pada pasal pertama bait pertama :
Barang siapa tiada memegang agama
Segala-gala tiada boleh dibilangkan nama
b. Pada pasal keempat bait pertama :
Hati itu kerajaan di dalam tubuh
Jika zalim segala anggota pun rubuh
c. Pada pasal kelima bait pertama :
Jika hendak mengenal orang berbangsa
Lihatlah kepada budi dan bahasa
d. Pasal kedua belas bait ketiga :
Hukum ‘adil atas rakyat
Tanda Raja beroleh ‘inayat
Dengan demikian, tidak benar kalau dikatakan kita tergesa-gesa dalam perjuangan, karena gerakan amar ma’ruf nahi munkar yang ada saat ini hanya merupakan tindak lanjut dari perjuangan sebelumnya yang jauh sejak lama telah dilakukan oleh para ulama pembawa Islam di Indonesia. Jadi kita bukan perintis mau pun pelopor, kita hanya penerus perjuangan para pendahulu. Jika ada yang mengatakan Indonesia Tidak Pernah Menerapkan Syariat Islam… itu BOHONG… ini BUKTINYA !!! jadi tiap-tiap kita BERKEWAJIBAN menghidupkannya kembali !
Ditulis oleh : Muhammad Rizieq Husein Syihab
* ”Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di
antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan
adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-Ahzab 40)