Ya Ibad ~ Di dalam Islam, juga dikenal istilah toleransi.
Toleransi (tasamuh) di dalam Islam hanya berkenaan dengan masalah – masalah duniawiyyah / masalah kemasyarakatan di dunia saja. Sedangkan dalam masalah i’tiqad / aqidah Islamiyyah juga dalam masalah syari’ah tidak diketemukan toleransi di dalamnya. Semua sudah terbingkai rapi dan teratur di dalam satu aturan / perundang – undangan yang berasal langsung dari Alloh (Tuhan Segala makhluk) dengan sistem aturan dari ‘langit’.
Banyak orang yang tidak tau apa – apa tentang ad-din (agama) ini dan berkata : “ayat toleransi dalam Islam adalah surat Al Kaafiruun ayat 6, ya’ni, untukmulah agamamu dan untukkulah agamaku.”
Dengan kejahilan (kebodohan) mereka, mereka menjadikan Al Kaafiruun : 6 sebagai dalil toleransi antar ummat beragama. Padahal, dari sebab – sebab turunnya ayat itu (asbabun nuzul) sendiri sudah terlihat bahwa Rosululloh –Shollallohu ‘Alayhi wa Salaam- TIDAK MAU BERTOLERANSI dalam masalah aqidah.
Sangat jelaslah ketika itu para dedengkot kekafiran seperti Al-Walid bin Al-Mughirah, Al-'Ashi bin Wa-il, Al-Aswad bin Muthalib dan Umayyah bin Khalaf menemui Rasulullah saw dan berkata: "Wahai Muhammad! Mari kita bersama - sama menyembah apa yang kami sembah dan kami akan menyembah apa yang engkau sembah dan kita bersekutu dalam segala hal dan engkaulah pemimpin kami." Lalu para kafir itu pun menjanjikan beberapa imbalan seperti harta yang berlimpah, sehingga akan membuat Rasulullah SAW menjadi lelaki yang terkaya di kota Makkah, juga mereka (kafir Quraisy) akan menikahkannya dengan wanita – wanita yang cantik. Lalu mereka berkata :
“Semuanya itu adalah untukmu, hai Muhammad, asal kamu cegah dirimu dari mencaci maki tuhan - tuhan kami dan jangan pula kamu menyebut - nyebutnya dengan sebutan yang buruk. Jika kamu tidak mau, maka sembahlah tuhan-tuhan kami selama setahun dan kami akan mengikuti pula agamamu selama setahun.”
Tapi, apa jawab orang yang Alloh telah pilih menjadi kekasih-Nya itu, “"Tunggulah sampai ada wahyu yang turun kepadaku dari Robbku." Lalu seketika itu, Alloh Jalla JalalluHu menurunkan firman-Nya :
Katakanlah: "Hai orang-orang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku." (Al Kaafiruun : 1-6)
Lalu Alloh menurunkan firman-Nya lagi, Katakanlah: "Maka apakah kamu menyuruh aku menyembah selain Alloh, hai orang-orang yang tidak berpengetahuan?" (Az Zumar : 64)
Setelah mendengar keterangan itu, lalu pergilah mereka dengan tangan hampa dan dalam keadaan hina dina.
Jadi sangatlah jelas bahwa Alloh ‘Azza wa Jalla melarang Rasul-Nya untuk bertoleransi dalam masalah aqidah dan syari’ah kepada orang kafir bahkan di ayat itu juga, secara tidak langsung Alloh melalui Nabi-Nya menyuruh ummatnya agar menyebut mereka (yang bukan Islam) dengan sebutan Kafir (orang yang ingkar kepada Alloh). Tidak pernah Alloh menyebut mereka ataupun orang semacam mereka dengan sebutan “Yaa Ayyuha Ghoirul Muslimuun (Wahai, orang – orang non-Islam)”, tapi Alloh menyebut mereka dengan sebutan “Yaa Ayyuhal Kaafiruun (Wahai, orang – orang kafir). Meskipun agak terdengar kasar (bagi orang Indonesia) tetapi itulah sebutan langsung dari Alloh ‘Azza wa Jalla untuk mereka, dan kita wajib mengikutinya. Tidak boleh membantahNYA. Hal itu semata – mata hanya untuk menyatakan bahwa Islam tidak bisa bertoleransi dalam hal aqidah.
Dan ayat ‘Lakum Diinukum WaLiyadiin’ BUKANLAH ayat toleransi, melainkan ayat PENEGASAN untuk TIDAK mengikuti apa – apa yang orang kafir suruh kepada kita ummat Islam. Disinilah banyak yang salah kaprah.
Toleransi Saat Ini
Sebetulnya, tidak ada bedanya antara toleransi ummat beragama zaman ini dengan toleransi ummat beragama zaman dulu (ya’ni zaman Nabi SAW dan para Shahabatnya RA), dimana toleransi itu hanya sebatas mu’amalah duniawiyyah saja.
Bahkan, jika dilihat kenyataannya saat ini kaum Kafir tidak ada sikap toleransinya sama sekali terhadap kaum Muslimin. Bahkan masalah duniapun mereka memusuhi ummat yang telah dibangun atas dasar
tauhid ini.
Telah benarlah firman Alloh Tabaroka wa Ta’Ala :
“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: ‘Sesungguhnya petunjuk Alloh itulah petunjuk (yang benar).’ Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Alloh tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.” (Al Baqarah : 120)
“Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi.” (Ali Imran : 118)
Dari Shahabat Abu Huroiroh ra; Rosululloh saw bersabda : “Sesungguhnya akan datang kepada manusia tahun-tahun penuh penipuan, dimana PENDUSTA DIBENARKAN, sedangkan ORANG JUJUR DIDUSTAKAN, PENGKHIANAT DIPERCAYA, sedangkan ORANG AMANAT DIANGGAP PENGKHIANAT, Pada masa itu Ruwaibidhah berbicara.” Beliau saw ditanya : “Apakah Ruwaibidhah itu wahai Rasulullah ? Beliau saw bersabda : “Orang bodoh yang berbicara tentang persoalan (masalah) yang banyak.”
(HR. Ibnu Majah no. 4023, Ahmad no. 7571, dan Al-Hakim no. 8708. Dinyatakan HASAN oleh Ahmad Syakir, dan SHAHIH oleh Ibnu Katsir dan Al Albani dalam Silsilah Al Ahadist Ash Shahihah no. 1887 dan Shahih Al Jami’ Ash Shagir no. 3650)
Jadi, toleransi kaum kafir terhadap kaum Muslim hanyalah isapan jempol semata. Mereka memusuhi kaum Muslim dengan permusuhan yang besar. Bahkan sampai – sampai, mereka mampu membuat lidah saudara – saudara kita (yang awam) latah (ikut – ikutan) menyebut saudara/saudarinya sebagai ‘teroris’ dan menyebut saudaranya yang, Insya Alloh,
Mati Syahid dengan sebutan
mati sangit. Dan sampai sekarang pun, apa dan siapa yang disebut ‘teroris’, itu masih belum jelas.
Islam Tidak Memaksa
Islam sendiri tidak pernah memaksa orang lain untuk masuk ke dalam Islam. “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam),” (Al Baqarah : 256). Tapi perlu diingat, masih ada lanjutan dari satu ayat itu, “sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat.” (Al Baqarah : 256)
Islam tidak mengenal paksaan, karena paksaan hanya melahirkan ketidak setiaan bahkan ketidak ikhlasan, oleh karena itu Islam hanya mengenal ajakan. Ajakan kepada Islam adalah dakwah Islamiyyah yang mengajak manusia yang masih berkubang di dalam lumpur kejahiliyahan (kebodohan / ketidak pahaman masalah ad-din) ke dalam cahaya yang terang benderang. Oleh karena itu al-Islam juga bermakna yang membedakan antara yang Haq (
Jalan yang Benar) dengan yang Bathil (
Jalan yang Sesat).
Di dalam membedakan antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat / bathil, Islam tidak mengenal kompromi apalagi toleransi, karena itu menyangkut hal yang prinsip (aqidah). Jadi, inti dari ayat ‘tidak ada paksaan dalam Islam’ itu tidak ada hubungannya dengan kompromi atau toleransi dengan kekafiran dan kemaksiyatan. Tiap – tiap yang mengaku ummat Islam wajib menyebarkan ajaran Islam ke seluruh penjuru dunia guna menancapkan kemuliaan Islam yang didasari dengan
akhlak dan
prinsip (aqidah) yang baik.
“Hai Rosul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Alloh memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Alloh tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.”
(Al Ma’idah : 67 )
Toleransi Yang Dinginkan si Kafir
Orang – orang kafir menginginkan agar kita sebagai ummat Islam mau mengikuti tata cara mereka sebagai salah satu toleransi / loyalitas pada mereka. Padahal Islam sangat melarang berloyalitas pada kaum Kafir karena loyalitas yang dilakukan akan menimbulkan al-Muwaalaah (kecintaan) pada si kafir, jika sudah cinta, maka Alloh ‘Azza wa Jalla berfirman :
“Mereka ingin supaya kamu menjadi kafir sebagaimana mereka telah menjadi kafir, lalu kamu menjadi sama (dengan mereka). Maka janganlah kamu jadikan di antara mereka penolong-penolong(mu), hingga mereka berhijrah pada jalan Alloh.” (An Nisaa’ : 89)
Kita dilarang menjadi penolong dalam agama – agama mereka. Seperti, mereka menginginkan kita ikut serta dalam perayaan hari raya mereka. Mereka juga menginginkan kita mensahkan apa – apa yang mereka lakukan, seperti minum khomr, makan daging – daging yang haram (anjing, babi, dsb), membuat rumah ibadah mereka berzina, pacaran, mengghibah, dan lainnya. Yang pada akhirnya, mereka menyuruh agar kita menghargai pemurtadan yang mereka lakukan.
Maka dari itu, kita harus mempunyai sikap al-Mu’aadaah (membenci). Membenci siapa yang dimaksud ? Membenci karena Alloh, membenci apapun yang bertentangan dengan hukum Qur’an dan Sunnah, membenci siapapun yang membenci Alloh dan Rosul-Nya, membenci apa – apa yang selain Alloh.
Rosululloh -shollallohu 'alayhi wa sallam- pernah bersabda : “Siapa saja yang mencintai karena Alloh dan membenci karena Alloh, memberi karena Alloh dan melarang karena Alloh, maka sesungguhnya ia telah menyempurnakan imannya.” (HR. Abu Daud, dishohihkan oleh Al Abani)
Dan siapa saja yang mencintai tidak karena Alloh dan membenci tidak karena Alloh, bahkan dia membenci Alloh, Rosul dan penganut agama-Nya, maka ia telah Kafir. Atau membenci Alloh saja maka ia sudah Kafir. Atau membenci Rosul-Nya saja maka ia juga Kafir, atau membenci penganut agama-Nya saja, maka ia juga telah Kafir.
Jadi pada intinya, orang – orang kafir menginginkan kita bertoleransi terhadap mereka dengan cara kita (kaum Muslimin) harus :
1. Mengikuti perayaan hari besar / raya mereka, seperti ; Natal bersama, Nyepi bersama, Paskah bersama, perayaan hari valentine, perayaan malam tahun baru serta ikut serta dalam pembuatan / memeriahkan hari besar mereka.
2. Mensahkan pendirian bangunan ibadah mereka, seperti Gereja, Pura, Wihara, dan tempat tempat penyembahan berhala lainnya yang dibangun di tengah – tengah komunitas kaum Muslimin.
3. Mengikuti atau membenarkan apa – apa yang mereka lakukan, seperti ibadahnya mereka, minum – minuman haramnya mereka, pemurtadan yang mereka lakukan, dll.
4. Menampakkan kebahagiaan / kesenangan jika hari raya mereka tiba.
Kesemuanya itu adalah HARAM dilakukan oleh ummat Islam, bahkan tidak boleh terlintas di dalam hati ummat Islam sedikitpun.
Dari Abu Sa'id al-Khudry bahwasanya Rosululloh -shollaLLohu 'alayhi wa sallam- bersabda: "Sungguh kalian akan mengikuti sunnah (cara/metode) orang-orang sebelum kamu, sejengkal-demi sejengkal, sehasta demi sehasta, sehingga andaikata mereka menelusuri / masuk ke lubang biawak, niscaya kalian akan masuk ke dalamnya juga. Para Shahabat –radhiyaLLohu ‘anhum ‘ajma’in- bertanya : "Wahai Rosululloh! Apakah (mereka itu) orang-orang Yahudi dan Nashrani?". Beliau -shollaLLohu 'alayhi wa sallam- bersabda: "Siapa lagi (kalau bukan mereka).” (HR. Bukhari)
Islam Melarang Mengambil Orang – Orang Kafir Sebagai Pemimpin dan Teman
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu), sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Alloh tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zholim." (Al Maa’idah: 51)
Ibnu Hazm telah menukil adanya ijma’ (kesepakatan ulama) bahwa loyal (wala’) pada orang kafir adalah sesuatu yang diharamkan. (Kitab Al Muhalla, Ibnu Hazm, jilid 11, hal 138)
Bahkan, Ibnu Abi Hatim telah meriwayatkan dari Muhammad bin Sirin, dia berkata: Abdullah bin 'Utbah berkata, "hendaknya salah seorang mereka berhati-hati agar tidak menjadi Yahudi dan Nashrani tanpa disadarinya, berdasarkan ayat ini."
Islam melarang kita menjadikan orang – orang kafir dan musyrik sebagai pemimpin, karena dikhawatirkan bahkan diyakini bahwa mereka akan memimpin dengan kekafiran, kemaksiyatan dan kebodohannya. Islam juga melarang mengambil mereka sebagai teman dekat (shahabat), dikhawatirkan dia (si kafir) akan menjerumuskan kita ke dalam kekafirannya.
Rasulullah -shollaLLohu 'alayhi wa sallam- pernah berpesan : “Seseorang itu tergantung agama temannya. Maka hendaknya salah seorang dari kalian melihat siapa temannya.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi).
Di hadist tersebut Nabi -shollaLLohu 'alayhi wa sallam- memberikan pesan yang tersirat, bahwa kita harus mengambil orang Mukmin saja sebagai teman.
Bahkan orang – orang Muslim yang mengambil orang – orang kafir sebagai teman, diancam oleh Alloh dengan siksaan yang pedih,
“Kabarkanlah kepada orang-orang munafik bahwa mereka akan mendapat siksaan yang pedih,” (An Nisaa’ : 138)
Siapa yang dimaksud dengan orang – orang munafik ?
“(ya’ni) orang-orang yang mengambil orang-orang kafir menjadi teman-teman penolong dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Apakah mereka mencari kekuatan di sisi orang kafir itu? Maka sesungguhnya semua kekuatan kepunyaan Alloh.” (An Nisaa’ : 139)
Akan tetapi, Islam membolehkan kita berbuat adil terhadap orang kafir, dengan catatan ; si kafir tersebut TIDAK MEMERANGI DAN MEMBENCI KAUM MUSLIMIN.
“Alloh tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang TIDAK MEMERANGIMU karena agama dan TIDAK JUGA MENGUSIR KAMU dari negerimu. Sesungguhnya Alloh menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (Al Mumtahanah : 8)
Jika si kafir tidak memerangi dan membenci kaum Muslimin karena agama juga tidak mengusir kita dari negeri kita (tidak menjajah). Maka kita boleh berbuat adil kepada mereka (ya’ni, memberikan hak – haknya). Berbuat adil disini bukan berarti loyal (mencintai serta menjadi penolong) terhadap mereka. Tetap, kita tidak boleh bertoleransi dalam hal aqidah. Tetap kita harus berlepas diri dari kekufuran mereka.
Ibnu Katsir -rahimahullah- menjelaskan makna ayat tersebut, “Alloh tidak melarang kalian berbuat ihsan (baik) terhadap orang kafir yang tidak memerangi kaum muslimin dalam agama dan juga tidak menolong mengeluarkan wanita dan orang-orang lemah, ya’ni Alloh tidak melarang kita untuk berbuat baik dan berbuat adil kepada mereka. Karena sesungguhnya Alloh mencintai orang-orang yang berbuat adil.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, Muhaqqiq: Sami bin Muhammad Salamah, jilid 8 hal 90, terbitan Dar At Thoyibah, cetakan kedua, 1420 H)
Islam Menghargai Pluralitas Agama Tapi Tidak Untuk Pluralisme Agama
“Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat, kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. Dan untuk itulah Alloh menciptakan mereka. Kalimat Tuhanmu (keputusan-Nya) telah ditetapkan: sesungguhnya Aku akan memenuhi neraka Jahannam dengan jin dan manusia (yang durhaka) semuanya.” (Huud : 188 – 119)
Imam Qotadah –rohimahulloh- menjelaskan : “Kalaulah Alloh menghendaki, tentu Dia akan menjadikan seluruh umat manusia ini sebagai Muslimin.” (Kitab Jami’ul Bayan jilid 7, hal 137 nomor 18712)
“Tetapi mereka senantiasa berikhtilaf (berselisih pendapat) … .” Dari perselisihan itu bercerailah antara dua kubu, sebagian menjadi Kafir dan sebagian lagi menjadi Mukmin.
Seorang kafir berhak untuk tetap dalam agamanya, tapi di akhirat, ia harus mempertanggung jawabkan atas pilihannya itu. Tapi tetap, kaum Muslim wajib mengajak mereka dengan seruan Islam.
Islam pun menghargai adanya pluralitas (kemajemukan, keberagaman, perbedaan) agama –selama kemajemukan itu tidak memerangi, menistai dan melecehkan agama Islam-, akan tetapi Islam tidak menerima pluralisme agama. Jika pluralitas diubah menjadi isme (suatu paham yang harus diyakini keberadaannya) maka otomatis Islam harus membenarkan keimanan / prinsip dasar orang kafir. Maka dari itu, ajaran Islam menolak pluralisme agama dan tidak memungkiri adanya pluralitas agama.
Perlu diketahui, kesesatan pluralisme dalam beragama bisa berdampak buruk :
1. Pernikahan beda agama, yang akan melahirkan anak yang cacat aqidah dan akhlaknya. Dan Alloh pun tidak merestui / meridhoi pernikahan itu. "Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mu'min lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka sedangkan Alloh mengajak ke sorga dan ampunan dengan izin-Nya." (Al Baqarah : 221) Dan para ulama’ SEPAKAT bahwa, pernikahan tersebut (beda agama) termasuk dari zina dan dosa besar, juga harus dipertanggung jawabkan di akhirat kelak.
2. Akan munculnya orang – orang yang bodoh (jahil) dalam perkara ad-din (agama), karena semua agama dijadikan satu dan diaduk secara sistematis dengan pemikiran yang berasal dari akal insani dan membuang wahyu Ilahi Yang Suci. Jika sudah begitu, maka lahirlah orang – orang bodoh yang berpengetahuan agama yang kosong.
3. Akan munculnya kesesatan dimana – mana, karena kebohodan dalam perkara agama. Orang – orang yang mengusung ideologi pluralisme agama akan menafsirkan ayat – ayat suci berdasarkan percampur adukkan dari semua agama. Jika sudah begitu, agama bukan lagi suatu produk dari langit (Alloh), tapi sudah berupa produk dari manusia (ciptaan Alloh).
4. Akan terjadi kemaksiyatan dimana – mana. Agama mengajarkan menyeru orang untuk berbuat baik / ma’ruf dan mencegah dari hal – hal yang munkar / maksiyat. Jika pluralisme agama sudah merebak di suatu masyarakat, maka hal – hal yang ma’ruf akan dianggap menjadi hal yang munkar / maksiyat, sedangkan hal – hal yang munkar / maksiyat dianggap sebagai hal – hal yang ma’ruf / baik.
Jika sudah begitu, orang – orang yang tidak mau agamanya dilecehkan, dinistakan bahkan dicampur aduk dengan agama lain, mereka akan mempertahankan agamanya dengan caranya sendiri.
Maka dari itu, Islam sangat menolak apapun bentuk pluralisme dalam beragama. Dan tiada toleransi maupun kompromi dengan pluralisme agama. Karena itu (pluralisme agama) bisa menjadi indikasi senjata orang – orang kafir untuk menghancurkan agama Alloh Yang Mulia ini.
“Orang-orang kafir itu membuat tipu daya, dan Alloh membalas tipu daya mereka itu. Dan Alloh sebaik-baik pembalas tipu daya.” (Ali Imran : 54)
Kesimpulan
Pada intinya, Islam tidak mengajarkan toleransi dan kompromi dalam masalah yang sifatnya i’tiqadiyyah (aqidah / prinsip) atau yang berkaitan dalam masalah ukhrowi / akhirat seorang Muslim. Dan haram bagi ummat Islam untuk membenarkan aqidah keimanan orang – orang kafir dan musyrik serta bergembira atau ikut – ikutan pada acara hari raya mereka.
Dan ummat Islam dilarang mengikuti fatwa – fatwa ulama’ sesat yang bergelar akademis tinggi sekalipun, yang membolehkan bertoleransi kepada kaum kafir dalam masalah – masalah yang terkait di atas. Mereka sengaja memadamkan cahaya agama Alloh dengan
pemikiran – pemikiran mereka dengan cara memanipulasi hujjah dan argumentasi serta melecehkan ayat – ayat Al Qur’an Yang Suci. Dan
Ya Ibad tidak boleh tertipu dengan orang – orang semacam itu.